MAKALAH
Al-Qawa’id
Al-Fiqhiyyah
Kaidah Pertama
dan Cabangnya
Muhammad Harfin Zuhdi, MA
DISUSUN OLEH
Samsul Halim
Jurusan Ilmu Falak (Astronomi Islam)
Fakultas Syari’ah
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
MATARAM
2016
2016
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya
hanturkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan karunia, hidayah serta
petunjukNya kepada saya dan pembaca sekalian.
Sholawat serta salam tidak lupa saya lantunkan kepada junjungan
kita Nabi Besar Muhammad saw. Yang telah membimbing serta mengeluarkan kita
dari zaman kejahiliyahan menuju zaman yang penuh akan pengetahuan.
Makalah ini disusun dalam rangka
memenuhi tugas mata kuliah Qawa’id Fiqhiyyah. Saya sadar akan banyak kesalahan
dalam penyusunan makalah ini, karna hakekatnya manusia itu tidak akan pernah
terlepas dari salah dan khilaf. Oleh karna itu, saya mengharapkan bimbingan
yang penuh dari Bapak muhammad Harfin Zuhdi, MA. selaku dosen dalam mata kuliah
Qawa’id Fiqhiyyah.
Saya berharap makalah yang sederhana
ini dapat memberi manfaat untuk banyak
pihak, keritik serta saran sangat diharapkan demi memperbaiki kesalahan demi
kesalahan yang terdapat di dalamnya.
Mataram, 13 Oktober 2016
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai umat Islam,
kita mengakui bahwa banyak masalah baru yang tidak terdapat penyelesaiannya di
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga para pakar hokum Islam harus berijtihad
untuk memecahkannya. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa mereka itu dalam
berijtihad tidaklah secara acak, tetapi selalu berpegang kepada dasar-dasar
umum yang terdapat dalam kitab suci itu sehingga hukum-hukum yang mereka
rumuskan melalui ijtihad itu tidak boleh menyimpang dari dasar-dasar umum
tersebut.
Untuk menjawab
masalah-masalah baru yang belum ada penegasan hokum-hukumnya di dalam al-Qur’an
dan as-Sunnah, maka para pakar hokum Islam (fuqaha) berupaya memecahkan dan
mencari hukum-hukumnya dengan menggunakan ijtihad. Namun ijtihad itu tidak
boleh lepas dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Dikatakan demikian, karena ijtihad
tersebut dilaksanakan dengan cara mengkiaskan kepada yang sudah ada di dalam
al-Qur’an dan as-sunnah, menggalinya dari aturan-aturan umum (al-qawanin
al-‘ammah) dan prinsip-prinsip yang universal (al mabadi’ al-kulliyah) yang
terdapat dalam al-Qur’an dan as-sunnah dan menyesuaikannya dengan maksud dan
tujuan syariat (al-maqashid al-syari’ah) yang juga terkandung dalam al-Qur’an
dan as-Sunnah.
Aturan-aturan umum dan
prinsip-prinsip yang universal itulah yamg disebut dengan al-qawanin
al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh).
Dalam pembahasan kaidah-kaidah fiqh banyak terdapat macam-macam kaidah
salah satunya tentang kaidah-kaidah asasi ( al-Qawaid al-Khamsah). Dalam
kaidah-kaidah asasi terdapat 5 macam kaidah, dan dari kelima ini pempunyai
cabang-cabang kaidah. Adapun disini saya mencoba untuk menjelaskan salah satu
cabang-cabang kaidah dari yang 5 itu, yaitu ﺍﻷ ُﻣُﻮﺮُ
ﺒِمقاصدِﻫَﺎ
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kaidah Pertama
ﺍﻷ ُﻣُﻮﺮُ ﺒِمقاصدِﻫَﺎ
“Segala perkara tergantung kepada niatnya”.
Kaidah ini termasuk salah
satu dari panca kaidah yang merupakan kaidah asasi yang pertama. Dan kaidah ini
menjelaskan tentang niat. Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan
dengan, bermaksud untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan pelaksanaanya.
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan
seseorang, apakah seseorang itu melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah
kepada Allah ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah
kepada Allah, tetapi semata-mata karena nafsu atau kebiasaan.[1] Misalnya
seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari
dari perbuatan zina maka hal itu halal untuk dilakukan, tetapi jika hal itu
dilakukan hanya semata-mata untuk menyiksa dan menyakiti istrinya, maka hal itu
haram untuk dilakukan.
Menurut Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah, bahwa tempat niat itu di hati, bukan di lisan, hal itu
berdasarkan kesepakatan para ulama’. Ini berlaku untuk semua ibadah, baik itu
thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, jihad maupun lainnya.
Oleh karena itu kalau ada seseorang yang melafadzkan niatnya dengan lisan,
namun apa yang dia lafadzkan itu berbeda dengan yang terdapat dalam hatinya,
maka yang dianggap sebagai niatnya adalah apa yang terdapat dalam hatinya bukan
lisannya, demikian juga kalau seseorang melafadzkan niat dengan lisannya, namun
dalam hatinya tidak ada niat sama sekali, maka niatnya tidak sah. Hal ini
berdasarkan kesepakatan para ulama’, karena niat itu adalah kehendak dan tekad
yang terdapat dalam hati.[2]
Adapun fungsi niat, ada tiga yaitu sebagai berikut:[3]
1.
Untuk membedakan antara
ibadah dan adat kebiasaan.
2.
Untuk membedakan
kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
3.
Untuk menentukan sah
tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang
sunnah.
Secara lebih mendalam lagi, para fuqaha (ahli hukum Islam) merinci masalah
niat ini baik dalam bidang ibadah mahdlah, seperti thaharah, wudhu, tayamum,
mandi junub, Shalat dan sebagainya. Ataupun didalam muammalah dalam arti luas
atau ibadah ghairu mahdlah, seperti pernikahan, talak, wakaf, jual-beli dan
sebagainya. Sehingga Imam al-Suyuthi menyatakan: “apabila kau hitung
masalah-masalah fiqih yang berhubungan dengan niat ini tidak kurang dari
sepertiga atau seperempatnya.
B. Cabang-Cabang Kaidah Tentang Niat
Kaidah asasiyyah tentang niat memiliki cabang-cabang kaidah yang berjumlah
8 (delapan) kaidah. Kaidah-kaidah tersebut adalah :
1.
ﻨِﻴﱠﺔ ُ ﺍﻟﻣُﺆْﻣِﻦِ ﺧَﻴْﺮ ٌﻣِﻦْ ﻋَﻣَﻟِﻪ
“Niat seorang mukmin
lebih baik daripada amalnya”.
Sehubungan dengan kaidah tentang niat ini ada dhabith yang ruang lingkupnya lebih kecil dari kaidah tersebut di
atas dan biasanya disebut dhabith,
antara lain:[4]
ﺍﻟﻌِﺒْﺮَﺓُ ﻔِﻲ
ﺍﻟﻌُﻗُﻮْﺩِ ﻟِﻟْﻣَﻗَﺎﺻِﺩِ ﻮَﺍﻟَﻣَﻌَﺎﻨِﻲ ﻻَﻟِﻸ َﻟﻔَﺎﻅِ ﻮَﺍلﻣَﺒَﺎﻨِﻲ
“Pengertian yang diambil dari suatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata
dan ungkapannya”.
Contoh:
Apabila ada seseorang
yang mengalami musibah kecelakaan dan kita pada saat berkata pada semua orang
akan membantu orang tersebut untuk dibawa ke RS dan menanggung semua biaya RS
tersebut. Namun kenyataannya setelah keluarga orang itu datang, kita langsung
memberikan kuitansi pembayaran kepada keluarga orang itu, agar mengganti biaya
tersebut. Oleh karena itu apa yang diucapkan kita itu tidak sama dengan yang
kita lakukan. Maka dalam hal ini kita membantu dan menolong orang tersebut
bukanlah benar-benar ingin membantu, tetapi hanya ingin membangun citra “baik”
di mata orang, agar mendapat sanjungan dari orang lain.
2.
ﻻَ ﺜَﻮَﺍﺐَ ﺇِﻻﱠ ﺒِﺎﻟﻨﱢﻴَﺔِ
“Tidaklah ada pahala kecuali dengan niat”.
Kaidah ini, memberikan kepada kita pedoman untuk membedakan perbuatan yang
bernilai ibadah dengan yang bukan bernilai ibadah, baik itu ibadah yang mahdah
maupun ibadah yang ‘ammah. Bahkan An-Nawawi mengatakan bahwa untuk membedakan
antara ibadah dengan adat, hanya dengan niat. Sesuatu perbuatan adat, tetapi
kemudian diniatkan mengikuti tuntutan Allah dan Rasulullah SAW. Maka ia berubah
menjadi ibadah yang berpahala.[5]
Contoh:
seseorang yang mengajar
tentang komputer. Pertama, ia mengajari orang lain yang tidak mengerti tentang
bagaimana mengoperasikan komputer, dalam hal ini ia mengajari orang tersebut
dengan niat karena Allah dan berniat untuk membagi ilmunya kepada orang lain.
Maka dengan niatnya tersebut ia mendapatkan pahala. Sedangkan yang kedua, ia
mengajari orang tersebut, hanya karena ingin mendapat imbalan saja dan ia sama
sekali tidak memikirkan apakah orang yang diajarinya itu sudah mengerti atau
tidak, sebab ia hanya memikirkan imbalan yang akan ia peroleh dari hasil
mengajari orang tersebut saja. Maka dalam hal ini ia tidak berniat karena Allah
dan karena itulah ia tidak mendapatkan pahala.
3.
ﻟَﻮﺍﺨْﺗَﻟَﻑَ ﺍﻟﻟِﺳَﺎﻦُ ﻮَﺍﻟﻗَﻟْﺏُ ﻔَﺎﻟﻣُﻌْﺗَﺒَﺮُ ﻣَﺎ ﻔِﻲ ﺍﻟﻗَﻟْﺏِ
“Apabila berbeda antara yang diucapkan dengan yang di hati, yang dijadikan
pegangan adalah yang didalam hati”.[6]
Contoh:
Apabila di dalam hati
kita niat untuk berwudhu, sedang yang di ucapkan adalah mendinginkan badan,
maka wudhnya tetap sah berdasarkan kaidah ini.
4.
ﻻَ ﻴَﻟْﺯَﻡُ ﻨِﻴَﺔُﺍﻟﻌِﺎﺪَﺓِ ﻔِﻲ ﻜُﻞﱠ ﺠُﺯْﺀٍ ﺇِﻨﱠﻣَﺎ ﺗَﻟْﺯَﻡُ ﻔِﻲ ﺠُﻣْﻟَﺔٍ ﻣَﺎ
ﻴَﻔْﻌَﻟُﻪُ
“Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tetapi niat wajib dalam
keseluruhan yang dikerjakan”.[7]
Contoh:
Ketika kita berniat
untuk melakukan shalat, maka niat cukup satu kali, dan tidak perlu mengucapkan
niat pada tiap kali gerakan shalat.
5.
ﻜُﻞﱡ ﻣُﻔَﺮﱢ ﻀَﻴْﻦ ﻔَﻼَ ﺗَﺠْﺯِﻴْﻬِﻣَﺎ ﻨِﻴﱠﺔ ٌﻮَﺍﺤِﺪ ٌﺇِﻻﱡ ﺍﻟﺤَﺞّ ﻮَﺍﻟﻌُﻣْﺮَﺓ
“Setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji dan
umrah”.
Sperti yang di ketahui dalam pelaksanaan ibadah haji ada tiga cara:
1. Haji Tamattu Yaitu mengerjakan umrah dahulu baru
kemudian mengerjakan haji, cara ini wajib membayar dam.
2. Haji Ifrad yaitu mengerjakan haji saja dan tidak
wajib membayar dam.
3. Haji Qiron yaitu mengerjakan haji dan umrah
dalam satu niat dan pekerjaan sekaligus, dan cara ini wajib untuk membayar dam.
Adapun haji qiron merupakan pengecualian dari kaidah di atas.q
6.
ﻜُﻞﱡ ﻣَﺎ ﻜَﺎﻦَ ﻠﻪُ ﺃﺻْﻞٌ ﻔَﻼَ ﻴَﻨْﺗَﻘِﻞُ ﻋَﻦْ ﺃَﺻْﻟِﻪِ ﺒِﻣُﺠَﺮﱠﺪِ ﺍﻠﻨﱢﻴَﺔِ
“Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal
karena semata-mata niat”.[8]
Contoh:
Ketika seorang telah
niat melaksanakan shalat dzuhur, kemudian setelah mendapatkan satu rakaat dia
ingin berpindah kepada niat untuk melaksanakan shalat tahyatul masjid, maka
shalatnya menjadi batal. Adapun kasus ini berbeda dengan orang yang dari sejak terbit
fajar belum makan dan minum, kemudian di siang hari dia berniat untuk berpuasa
sunnah, maka hal itu sah karena sejak terbit fajar hingga ia berniat ia belum
makan dan minum sama sekali.
7.
ﻣَﻘَﺎﺻِﺪُ اللفظِ ﻋَﻟَﻰ ﻨِﻴَﺔِ ﺍﻠﻼَﻔِﻇ
“Maksud lafadz itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya”.
Dari redaksi kaidah ini, memberikan pengertian bahwa ucapan seseorang itu
dianggap sah atau tidak, tergantung dari maksud orang itu sendiri, yaitu apa
maksud dari perkataannya tersebut.[9]
Contoh:
Kita memanggil seseorang
dan kita memanggil orang tersebut dengan sebutan yang bukan nama orang itu
sendiri, dan kita memanggilnya dengan sebutan yang tidak baik, seperti
memperolok orang tersebut dengan kata-kata yang tidak baik, maka dari ucapan
tersebut, apakah dianggap baik atau tidak tergantung maksud orang yang
mengucapkannya. Apakah hal itu dilakukan dengan sengaja ataukah hanya sekedar
bercanda.
8.
ﺍﻷَﻴْﻣَﺎﻦُ ﻣَﺒْﻨِﻴﱠﺔٌ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻷَﻠﻔَﺎﻇِ ﻭَﺍﻟﻣَﻘَﺎﺻِﺪِ
“Sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud”.
Khusus untuk sumpah ada kata-kata yang khusus yang digunakan, yaitu “wallahi” atau “demi Allah saya
bersumpah” bahwa saya... dan seterusnya. Selain itu harus diperhatikan pula apa
maksud dengan sumpahnya itu.
Contoh:
Apabila seseorang itu
berkata bahwa, demi Allah saya akan memberikan sedikit rezeki kepada orang yang
tidak mampu, apabila nanti saya mendapat rezeki lebih. Dan hal itu disaksikan
oleh keluarganya, maka yang dimaksud orang tersebut ialah dia bersumpah untuk
dirinya sendiri agar berbagi kepada orang yang tidak mampu, apabila ia
mendapatkan rezeki lebih dari biasanya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kaidah ini termasuk salah
satu dari panca kaidah yang merupakan kaidah asasi yang pertama. Dan kaidah ini
menjelaskan tentang niat. Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan
dengan bermaksud untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan pelaksanaanya.
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan
seseorang, apakah seseorang itu melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah
kepada Allah ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah
kepada Allah, tetapi semata-mata karena nafsu atau kebiasaan. Adapun fungsi
niat, ada tiga yaitu sebagai berikut: Pertama,
Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan. Kedua, Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun
kejahatan. Dan yang ketiga, Untuk menentukan
sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari
yang sunnah. Kaidah asasi yang pertama tentang niat ini, terdapat 8 (delapan) cabang
kaidah.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, A., Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum
Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana,
2007.
Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
Musbikin, Imam, Qawa’id al-Fiqhiyah, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2001.
http://www.scribd.com/doc/50333783/Makalah-Kaidah-Fiqih, Online 08/03/2012, Pukul 18.35 WIB.
http://ahmadsabiq.com/kaidah-fiqh-amal-itu-tergantung-niatnya/ Online 08/03/2012, Pukul 18.30 WIB.
[1] A.
Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih:
Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis,
Jakarta: Kencana, 2007, h. 34.
[2] ]http://ahmadsabiq.com/kaidah-fiqh-amal-itu-tergantung-niatnya/
Online 05/11/2016, Pukul 18.30 WIB.
[3] A.
Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih:
Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis,
h. 35-36.
[4] Ibid., h. 39.
[5] Imam
Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001, h. 44.
[6] Jaih
Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah dan
Kaidah-kaidah Asasi, h. 124.
[7] A.
Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih:
Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis,
h. 40.
[8] Ibid., h. 39.
[9] Imam
Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, h. 47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar