cbox


Mau buat buku tamu ini ?
Klik di sini

Senin, 21 November 2016

Makalah Kaidah Pertama dan Cabangnya



MAKALAH
Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah
Kaidah Pertama dan Cabangnya


DOSEN PEMBIMBING
Muhammad Harfin Zuhdi, MA
DISUSUN OLEH
Samsul Halim
1502141766
Jurusan Ilmu Falak (Astronomi Islam)
Fakultas Syari’ah
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
MATARAM
2016


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya hanturkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan karunia, hidayah serta petunjukNya kepada saya dan pembaca sekalian.
Sholawat serta salam  tidak lupa saya lantunkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw. Yang telah membimbing serta mengeluarkan kita dari zaman kejahiliyahan menuju zaman yang penuh akan pengetahuan.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Qawa’id Fiqhiyyah. Saya sadar akan banyak kesalahan dalam penyusunan makalah ini, karna hakekatnya manusia itu tidak akan pernah terlepas dari salah dan khilaf. Oleh karna itu, saya mengharapkan bimbingan yang penuh dari Bapak muhammad Harfin Zuhdi, MA. selaku dosen dalam mata kuliah Qawa’id Fiqhiyyah.
Saya berharap makalah yang sederhana ini dapat memberi manfaat  untuk banyak pihak, keritik serta saran sangat diharapkan demi memperbaiki kesalahan demi kesalahan yang terdapat di dalamnya.

Mataram, 13 Oktober 2016


Penyusun       





BAB I
PENDAHULUAN

Sebagai umat Islam, kita mengakui bahwa banyak masalah baru yang tidak terdapat penyelesaiannya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga para pakar hokum Islam harus berijtihad untuk memecahkannya. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa mereka itu dalam berijtihad tidaklah secara acak, tetapi selalu berpegang kepada dasar-dasar umum yang terdapat dalam kitab suci itu sehingga hukum-hukum yang mereka rumuskan melalui ijtihad itu tidak boleh menyimpang dari dasar-dasar umum tersebut.
Untuk menjawab masalah-masalah baru yang belum ada penegasan hokum-hukumnya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka para pakar hokum Islam (fuqaha) berupaya memecahkan dan mencari hukum-hukumnya dengan menggunakan ijtihad. Namun ijtihad itu tidak boleh lepas dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Dikatakan demikian, karena ijtihad tersebut dilaksanakan dengan cara mengkiaskan kepada yang sudah ada di dalam al-Qur’an dan as-sunnah, menggalinya dari aturan-aturan umum (al-qawanin al-‘ammah) dan prinsip-prinsip yang universal (al mabadi’ al-kulliyah) yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-sunnah dan menyesuaikannya dengan maksud dan tujuan syariat (al-maqashid al-syari’ah) yang juga terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Aturan-aturan umum dan prinsip-prinsip yang universal itulah yamg disebut dengan al-qawanin al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh).  Dalam pembahasan kaidah-kaidah fiqh banyak terdapat macam-macam kaidah salah satunya tentang kaidah-kaidah asasi ( al-Qawaid al-Khamsah). Dalam kaidah-kaidah asasi terdapat 5 macam kaidah, dan dari kelima ini pempunyai cabang-cabang kaidah. Adapun disini saya mencoba untuk menjelaskan salah satu cabang-cabang kaidah dari yang 5 itu, yaitu ﺍﻷ ُﻣُﻮﺮُ ﺒِمقاصدِﻫَﺎ




BAB II
PEMBAHASAN
A.  Kaidah Pertama
ﺍﻷ ُﻣُﻮﺮُ ﺒِمقاصدِﻫَﺎ
“Segala perkara tergantung kepada niatnya”.
Kaidah ini termasuk salah satu dari panca kaidah yang merupakan kaidah asasi yang pertama. Dan kaidah ini menjelaskan tentang niat. Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan, bermaksud untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan pelaksanaanya. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata karena nafsu atau kebiasaan.[1] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka hal itu halal untuk dilakukan, tetapi jika hal itu dilakukan hanya semata-mata untuk menyiksa dan menyakiti istrinya, maka hal itu haram untuk dilakukan.
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, bahwa tempat niat itu di hati, bukan di lisan, hal itu berdasarkan kesepakatan para ulama’. Ini berlaku untuk semua ibadah, baik itu thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, jihad maupun lainnya. Oleh karena itu kalau ada seseorang yang melafadzkan niatnya dengan lisan, namun apa yang dia lafadzkan itu berbeda dengan yang terdapat dalam hatinya, maka yang dianggap sebagai niatnya adalah apa yang terdapat dalam hatinya bukan lisannya, demikian juga kalau seseorang melafadzkan niat dengan lisannya, namun dalam hatinya tidak ada niat sama sekali, maka niatnya tidak sah. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama’, karena niat itu adalah kehendak dan tekad yang terdapat dalam hati.[2]
Adapun fungsi niat, ada tiga yaitu sebagai berikut:[3]
1.        Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
2.        Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
3.        Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.
Secara lebih mendalam lagi, para fuqaha (ahli hukum Islam) merinci masalah niat ini baik dalam bidang ibadah mahdlah, seperti thaharah, wudhu, tayamum, mandi junub, Shalat dan sebagainya. Ataupun didalam muammalah dalam arti luas atau ibadah ghairu mahdlah, seperti pernikahan, talak, wakaf, jual-beli dan sebagainya. Sehingga Imam al-Suyuthi menyatakan: “apabila kau hitung masalah-masalah fiqih yang berhubungan dengan niat ini tidak kurang dari sepertiga atau seperempatnya.

B.  Cabang-Cabang Kaidah Tentang Niat
Kaidah asasiyyah tentang niat memiliki cabang-cabang kaidah yang berjumlah 8 (delapan) kaidah. Kaidah-kaidah tersebut adalah :
1.        ﻨِﻴﱠﺔ ُ ﺍﻟﻣُﺆْﻣِﻦِ ﺧَﻴْﺮ ٌﻣِﻦْ ﻋَﻣَﻟِﻪ
“Niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya”.
Sehubungan dengan kaidah tentang niat ini ada dhabith yang ruang lingkupnya lebih kecil dari kaidah tersebut di atas dan biasanya disebut dhabith, antara lain:[4]
ﺍﻟﻌِﺒْﺮَﺓُ  ﻔِﻲ ﺍﻟﻌُﻗُﻮْﺩِ ﻟِﻟْﻣَﻗَﺎﺻِﺩِ ﻮَﺍﻟَﻣَﻌَﺎﻨِﻲ ﻻَﻟِﻸ َﻟﻔَﺎﻅِ ﻮَﺍلﻣَﺒَﺎﻨِﻲ
“Pengertian yang diambil dari suatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata dan ungkapannya”.
Contoh:
Apabila ada seseorang yang mengalami musibah kecelakaan dan kita pada saat berkata pada semua orang akan membantu orang tersebut untuk dibawa ke RS dan menanggung semua biaya RS tersebut. Namun kenyataannya setelah keluarga orang itu datang, kita langsung memberikan kuitansi pembayaran kepada keluarga orang itu, agar mengganti biaya tersebut. Oleh karena itu apa yang diucapkan kita itu tidak sama dengan yang kita lakukan. Maka dalam hal ini kita membantu dan menolong orang tersebut bukanlah benar-benar ingin membantu, tetapi hanya ingin membangun citra “baik” di mata orang, agar mendapat sanjungan dari orang lain.
2.        ﻻَ ﺜَﻮَﺍﺐَ ﺇِﻻﱠ ﺒِﺎﻟﻨﱢﻴَﺔِ
“Tidaklah ada pahala kecuali dengan niat”.
Kaidah ini, memberikan kepada kita pedoman untuk membedakan perbuatan yang bernilai ibadah dengan yang bukan bernilai ibadah, baik itu ibadah yang mahdah maupun ibadah yang ‘ammah. Bahkan An-Nawawi mengatakan bahwa untuk membedakan antara ibadah dengan adat, hanya dengan niat. Sesuatu perbuatan adat, tetapi kemudian diniatkan mengikuti tuntutan Allah dan Rasulullah SAW. Maka ia berubah menjadi ibadah yang berpahala.[5]
Contoh:
seseorang yang mengajar tentang komputer. Pertama, ia mengajari orang lain yang tidak mengerti tentang bagaimana mengoperasikan komputer, dalam hal ini ia mengajari orang tersebut dengan niat karena Allah dan berniat untuk membagi ilmunya kepada orang lain. Maka dengan niatnya tersebut ia mendapatkan pahala. Sedangkan yang kedua, ia mengajari orang tersebut, hanya karena ingin mendapat imbalan saja dan ia sama sekali tidak memikirkan apakah orang yang diajarinya itu sudah mengerti atau tidak, sebab ia hanya memikirkan imbalan yang akan ia peroleh dari hasil mengajari orang tersebut saja. Maka dalam hal ini ia tidak berniat karena Allah dan karena itulah ia tidak mendapatkan pahala.

3.        ﻟَﻮﺍﺨْﺗَﻟَﻑَ ﺍﻟﻟِﺳَﺎﻦُ ﻮَﺍﻟﻗَﻟْﺏُ ﻔَﺎﻟﻣُﻌْﺗَﺒَﺮُ  ﻣَﺎ ﻔِﻲ ﺍﻟﻗَﻟْﺏِ
“Apabila berbeda antara yang diucapkan dengan yang di hati, yang dijadikan pegangan adalah yang didalam hati”.[6]
Contoh:
Apabila di dalam hati kita niat untuk berwudhu, sedang yang di ucapkan adalah mendinginkan badan, maka wudhnya tetap sah berdasarkan kaidah ini.

4.        ﻻَ ﻴَﻟْﺯَﻡُ ﻨِﻴَﺔُﺍﻟﻌِﺎﺪَﺓِ ﻔِﻲ ﻜُﻞﱠ ﺠُﺯْﺀٍ ﺇِﻨﱠﻣَﺎ ﺗَﻟْﺯَﻡُ ﻔِﻲ ﺠُﻣْﻟَﺔٍ ﻣَﺎ ﻴَﻔْﻌَﻟُﻪُ
“Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tetapi niat wajib dalam keseluruhan yang dikerjakan”.[7]
Contoh:
Ketika kita berniat untuk melakukan shalat, maka niat cukup satu kali, dan tidak perlu mengucapkan niat pada tiap kali gerakan shalat.

5.        ﻜُﻞﱡ ﻣُﻔَﺮﱢ ﻀَﻴْﻦ ﻔَﻼَ ﺗَﺠْﺯِﻴْﻬِﻣَﺎ ﻨِﻴﱠﺔ ٌﻮَﺍﺤِﺪ ٌﺇِﻻﱡ ﺍﻟﺤَﺞّ ﻮَﺍﻟﻌُﻣْﺮَﺓ
“Setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji dan umrah”.
Sperti yang di ketahui dalam pelaksanaan ibadah haji ada tiga cara:
1.      Haji Tamattu Yaitu mengerjakan umrah dahulu baru kemudian mengerjakan haji, cara ini wajib membayar dam.
2.      Haji Ifrad yaitu mengerjakan haji saja dan tidak wajib membayar dam.
3.      Haji Qiron yaitu mengerjakan haji dan umrah dalam satu niat dan pekerjaan sekaligus, dan cara ini wajib untuk membayar dam. Adapun haji qiron merupakan pengecualian dari kaidah di atas.q

6.        ﻜُﻞﱡ ﻣَﺎ ﻜَﺎﻦَ ﻠﻪُ ﺃﺻْﻞٌ ﻔَﻼَ ﻴَﻨْﺗَﻘِﻞُ ﻋَﻦْ ﺃَﺻْﻟِﻪِ ﺒِﻣُﺠَﺮﱠﺪِ ﺍﻠﻨﱢﻴَﺔِ
“Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal karena semata-mata niat”.[8]
Contoh:
Ketika seorang telah niat melaksanakan shalat dzuhur, kemudian setelah mendapatkan satu rakaat dia ingin berpindah kepada niat untuk melaksanakan shalat tahyatul masjid, maka shalatnya menjadi batal. Adapun kasus ini berbeda dengan orang yang dari sejak terbit fajar belum makan dan minum, kemudian di siang hari dia berniat untuk berpuasa sunnah, maka hal itu sah karena sejak terbit fajar hingga ia berniat ia belum makan dan minum sama sekali.

7.         ﻣَﻘَﺎﺻِﺪُ اللفظِ ﻋَﻟَﻰ ﻨِﻴَﺔِ ﺍﻠﻼَﻔِﻇ
“Maksud lafadz itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya”.
Dari redaksi kaidah ini, memberikan pengertian bahwa ucapan seseorang itu dianggap sah atau tidak, tergantung dari maksud orang itu sendiri, yaitu apa maksud dari perkataannya tersebut.[9]
Contoh:
Kita memanggil seseorang dan kita memanggil orang tersebut dengan sebutan yang bukan nama orang itu sendiri, dan kita memanggilnya dengan sebutan yang tidak baik, seperti memperolok orang tersebut dengan kata-kata yang tidak baik, maka dari ucapan tersebut, apakah dianggap baik atau tidak tergantung maksud orang yang mengucapkannya. Apakah hal itu dilakukan dengan sengaja ataukah hanya sekedar bercanda.

8.        ﺍﻷَﻴْﻣَﺎﻦُ ﻣَﺒْﻨِﻴﱠﺔٌ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻷَﻠﻔَﺎﻇِ ﻭَﺍﻟﻣَﻘَﺎﺻِﺪِ
“Sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud”.
Khusus untuk sumpah ada kata-kata yang khusus yang digunakan, yaitu “wallahi” atau “demi Allah saya bersumpah” bahwa saya... dan seterusnya. Selain itu harus diperhatikan pula apa maksud dengan sumpahnya itu.
Contoh:
Apabila seseorang itu berkata bahwa, demi Allah saya akan memberikan sedikit rezeki kepada orang yang tidak mampu, apabila nanti saya mendapat rezeki lebih. Dan hal itu disaksikan oleh keluarganya, maka yang dimaksud orang tersebut ialah dia bersumpah untuk dirinya sendiri agar berbagi kepada orang yang tidak mampu, apabila ia mendapatkan rezeki lebih dari biasanya.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kaidah ini termasuk salah satu dari panca kaidah yang merupakan kaidah asasi yang pertama. Dan kaidah ini menjelaskan tentang niat. Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan pelaksanaanya. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata karena nafsu atau kebiasaan. Adapun fungsi niat, ada tiga yaitu sebagai berikut: Pertama, Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan. Kedua, Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan. Dan yang ketiga, Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah. Kaidah asasi yang pertama tentang niat ini, terdapat 8 (delapan) cabang kaidah.




DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, A., Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007.
Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
Musbikin, Imam, Qawa’id al-Fiqhiyah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001.
http://www.scribd.com/doc/50333783/Makalah-Kaidah-Fiqih, Online 08/03/2012, Pukul 18.35 WIB.


[1] A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007, h. 34.
[3] A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, h. 35-36.
[4] Ibid., h. 39.
[5] Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001, h. 44.
[6] Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, h. 124.
[7] A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, h. 40.
[8] Ibid., h. 39.
[9] Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, h. 47.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

VISITOR