cbox


Mau buat buku tamu ini ?
Klik di sini

Senin, 27 Maret 2017

Makalah Pernikahan Beda Agama

MAKALAH
FIQIH KONTEMPORER
Pernikahan Beda Agama

DOSEN PEMBIMBING
Muhammad Harfin Zuhdi, MA
DISUSUN OLEH
Samsul Halim
1502141766
Jurusan Ilmu Falak (Astronomi Islam)
Fakultas Syari'ah
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
MATARAM
2017


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya hanturkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan karunia, hidayah serta petunjukNya kepada saya dan pembaca sekalian.
Sholawat serta salam  tidak lupa saya lantunkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw. Yang telah membimbing serta mengeluarkan kita dari zaman kejahiliyahan menuju zaman yang penuh akan pengetahuan.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Fiqih kontemporer. Saya sadar akan banyak kesalahan dalam penyusunan makalah ini, karna hakekatnya manusia itu tidak akan pernah terlepas dari salah dan khilaf. Oleh karna itu, saya mengharapkan bimbingan yang penuh dari Bapak muhammad Harfin Zuhdi, MA. selaku dosen dalam mata kuliah Fiqih Kontemporer.
Saya berharap makalah yang sederhana ini dapat memberi manfaat  untuk banyak pihak, keritik serta saran sangat diharapkan demi memperbaiki kesalahan demi kesalahan yang terdapat di dalamnya.

Mataram, 13 Maret 2017


Penyusun




BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah telah menciptakan lelaki dan perempuan agar dapat berhubungan satu sama lain, saling mencintai, menghasilkan keturunan, dan hidup berdampingan secara damai dan sejahtera sesuai dengan perintah Allah dan petunjuk Rasulullah.
Tujuan pernikahan didalam Islam tidak hanya sebatas pemenuhan nafsu biologis atau pelampiasan nafsu seksual belaka, akan tetapi memiliki tujuan-tujuan penting yang berkaitan dengan sosial, psikologi, dan yang terpenting adalah agama. Maka dari itu, Nabi SAW. Sangat menekankan pada keimanan, kesalehan dan ketaatan sebagai kriteria utama dalam memilih pasangan hidup. Karena menikah merupakan salah satu cara dalam memperoleh kehormatan dan mencapai kesempurnaan iman.
Fenomena dewasa ini maraknya pernikahan lintas agama, tanpa mengindahkan kaidah-kaidah agama. Alhasil, anaklah yang menjadi korban atas pernikahan tersebut. Efek yang nampak karena pernikahan beda agama yaitu kebingungan yang muncul dari anak-anak mereka. Dengan kepercayaan agama yang tidak sama dari kedua orangtua, mereka bakal terasa bingung untuk memastikan agama yang mereka anut. Hingga dalam soal ini, anak bakal terasa kehilangan pelindung yang membimbing mereka ke jalan agama yang benar.
Dalam makalah  ini, saya akan memaparkan bagaimana pandangan Islam atau hukum dalam agama Islam menikah dengan orang yang berbeda agama serta dampak dari pernikahan tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk pernikahan beda agama?
2. Bagaimana dampak pernikahan beda agama?
3. Bagaimana pandangan ulama terhadap pernikahan beda agama?
4. Bagaimana ketetapan hukum beda agama?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui bentuk dari pernikahan beda agama
2. Untuk mengetahui dampak yang timbul akibat pernikahan berbeda agama.
3. Untuk mengetahui pandangan para ulama tentang pernikahan beda agama
4. Untuk mengetahui ketetapan hukum pernikahan beda agama.



BAB II
PEMBAHASAN
A. Pernikahan Beda Agama
Pernikahan beda agama merupakan pernikahan lintas suatu agama, yaitu pernikahan yang dilangsungkan oleh seseorang yang memeluk suatu agama tertentu khususnya Islam dengan pemeluk agama yang lainnya. Adapun bentuk atau macamnya sebai berikut;
1. Muslim dengan Orang Musyrik dan Ateis
Musyrik adalah orang yang meyakini bahwa Allah mempunyai sekutu, atau mengimani bahwa dunia ini memiliki lebih dari satu Tuhan atau dewa-dewa, atau menyembah berhala dan lain sebagainya di mana akal sehat tak akan mungkin bisa menerinya dan fitrah murni tak akan mungkin bisa memahaminya.
Sedangkan ateis adalah orang yang tidak mengimani adanya Tuhan, alam supraindrawi, perkara syariat maupun agama, yang mendeklarasikan kalimat seperti yang di sampaikan dalam al-Alqur'an, "Dan mereka berkata: Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan didunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja." 
Dalam Islam menikah dengan orang musyrik dalam bentuk apapun sama sekali tidak di benarkan atau dilarang, baik dengan orang yang menyembah berhala, orang yang keluar dari agama Islam (murtad), penyembah sapi atau binatang, menyembah pepohonan ataupun menyembah batu. Begitupun juga dengan orang ateis. Larangan Islam ini berdasarkan pernyataan dari al-Qur'an surah al-Baqarah ayat 221 sebagai berikut :
゚wur (#q￟sᅤ3Zs? ᅬM"x.ᅫホ￴ᄈ￟J￸9$# 4ᅮᆴLym ᆪ`ᅬB￷s ̄テ 4 ᅲptBV{ur ○poYᅬB￷soB ᅲホ￶ヘyz `ᅬiB 7px.ᅫホ￴ᄈoB ￶qs9ur ￶N¦3￷Gt6yf￴ ̄r& 3 ゚wur (#q￟sᅤ3Z│? tᅬ.ᅫホ￴ᄈ￟J￸9$# 4ᅮᆴLym (#q ̄ZᅬB￷s ̄テ 4 ᅮノ￶7y│s9ur ■`ᅬB￷soB ᅲホ￶ヘyz `ᅬiB 78ᅫホ￴ᄈoB ￶qs9ur ￶N¦3t6yf￴ ̄r& 3 y7ᅪᄡᆵ"s9'r←& tbq ̄ ̄￴ノtテ 'n<ᅫ) ᅪ'$ᄄZ9$# ( ᆰ!$#ur (#￾q ̄ ̄￴ノtテ 'n<ᅫ) ᅬpᄄYyf￸9$# ᅪotヘᅬ￿￸￳yJ￸9$#ur 회mᅬR￸フᅫ*ᅫ/ ( ￟ᅫit7 ̄テur 회mᅬG"tテ#u¦ ᅣᄄ$ᄄY=ᅬ9 ￶N￟gᆵ=y│s9 tbr ̄ヘᄅ.xヒtGtテ ᅦᅨᅨᅧ￈   
Artinya:
"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran."
Berdasarkan hal ini, maka perkawinan orang mukmin dengan orang musyrik itu akan menyesatkan pihak orang muslim karena akan membawa kepada jalan kemusyrikan. Ikatan suami dan isteri itu bukan hanya hubungan seksual semata, melainkan hubungan batin dan budaya. Oleh karena itu, perkawinan tadi dilarang didalam Islam. Memang benar boleh jadi seorang muslim itu akan dapat mempengaruhi orang musyrik, agar keluarga dan keturunan orang musyrik itu dapat berkenan memeluk Islam. Namun tak dapat di pungkiri juga, malah akan menjadi sebaliknya. Yang paling mungkin diakibatkan dalam perkawinan campuran tersebut adalah bercampurnya antara keturunan muslim dan nomuslim, dan dalam keluarga itu ternyata bukan Islam. 
2. Muslim dengan ahl-Kitab
Dalam Islam Ahli Kitab adalah orang-orang yang percaya kepada kitabullah. Mereka adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang percaya kepada kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa as. Dalam Islam menikah dengan perempuan ahli kitab memang diperbolehkan, berdasarkan petunjuk al-Qur'an dalam surah al-Maidah ayat 5 berikut ini :
tP￶quヒ￸9$# ᄄ@ᅬm←&  ̄N¦3s9 ¢M"t6ᅪhヒ리9$# (  ̄P$y│sᅴur t￯ᅬ%ᄅ!$# (#q│?r←& |="tGᅤ3￸9$# @@ᅬm ￶/¦3ᄅ9 ￶N¦3 ̄B$y│sᅴur @@ᅬm ￶N￧lᄚ; ( ¢M"oY|￁￳s￧RQ$#ur z`ᅬB ᅬM"oYᅬB￷s￟J￸9$# ¢M"oY|￁￳s￧RQ$#ur z`ᅬB t￯ᅬ%ᄅ!$# (#q│?r←& |="tGᅤ3￸9$# `ᅬB ￶N¦3ᅫ=￶6s% !#sフᅫ) ᆪ`│dq￟J￧F￷マs?#u¦ ᆪ`│du'q ̄_←& tᅬYᅤ￁￸t│C uホ￶ヘx○ tᅤsᅬ￿"|ᄀ ̄B ゚wur "￉ヒᅬツᆳG ̄B 5b#yノ￷{r& 3 `tBur ￶ヘ¢￿￵3tテ ᅦ`"uKテM}$$ᅫ/ ￴ノs)s x￝ᅫ6ym ᄐ ̄&←#yJt ̄ uq│dur 'ᅫ ᅪotヘᅤzFy$# z`ᅬB z`テᅫホᅤᆪ"sテ￸:$# ᅦᅫ￈   
Artinya:
"Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi."
Adapun syarat yang di ajukan Islam dalam pernikahan ini adalah wanita ahli kitab yang hendak dinikahi berkualifikasi muhshanat, artinya wanita yang menjaga kehormatan dan kesucian dirinya, dia tidak mengenal perbuatan nista, tidak berbuat dosa, dan tidak membiarkan dirinya menjadi objek kesenangan setan-setan manusia serta tidak akan menghianati suaminya.
Seandainya tradisi dilingkungan ataupun adat kebiasaan yang berlaku di dalam keluarga wanita ahli kitab itu tidak kenal kesucian ataupun nilai luhur, maka seorang pria muslim tidak diperkenankan menjadikan wanita ahli kitab tersebut sebagai pasangan hidup. Sebab, dengan kondisi yang seperti itu, wanita ahli kitab tersebut sudah menghimpun dua kejelekan dalam dirinya: kesesatan akidah dan kenistaan harga diri. Seorang muslim tentu tidak menginginkan keturunannya tumbuh di tengah-tengah atmosfer yang kotor seperti itu. 
3. Muslimah dengan nonmuslim
Pernikahan wanita Islam atau seorang muslimah dengan laki-laki nonmuslim tidak di benarkan didalam Islam, sekalipun ia ahli kitab atapun non-ahli kitab. Pernikahan ini batil atau tidak sah. Sebab, pernikahan ini dikhawatirkan mengancam keberagamaan seorang muslimah. Oleh karena itu, Islam tidak membenarkan pernikahan semacam ini.
Adapun kepemimpinan dan tanggung jawab dalam keluarga berada pada pundak suami, bilapun seorang laki-laki yang memiliki isteri seorang ahli kitab, ia dapat mengontrol jalannya rumah tangga dengan keyakinan sang suami. Berbeda dengan bilamana sang suami merupakan ahli kitab dan sang isteri merupakan seorang muslimah, ia hanya bisa tunduk dan patuh kepada sang suaminya. Adapun seorang muslimah tidak patut tunduk kepada selain agamanya sendiri. 
Larangan seorang muslimah menikah dengan nonmuslim tercantum dalah al-Qur'an surah al-Mumtahanah ayat 10, sebagai berikut :
$pkレノr'ᆵ"tテ t￯ᅬ%ᄅ!$# (#￾q ̄ZtB#u¦ #sフᅫ)  ̄N¢2u¦!%y` ¢M"oYᅬB￷s￟J￸9$# ;Nᄎtヘ￉f"yg ̄B ᆪ`│dq ̄ZᅤstG￸B$$s ( ᆰ!$#  ̄Nn=￷₩r& ᆪ`ᅪk￈]"yJテᅫ*ᅫ/ ( ￷bᅫ*s ᆪ`│dq￟J￧F￴Jᅫ=t ̄ ;M"uZᅬB￷s ̄B ゚xs ᆪ`│dq ̄│ᅤ_￶ヘs? 'n<ᅫ) ᅪ'$ᄂ￿¦3￸9$# ( ゚w ᆪ`│d @@ᅬm ￶N￧lᄚ; ゚wur ￶N│d tbqン=ᅬtsニ ᆪ`￧lm; ( N│dq│?#u¦ur !$ᄄB (#q¢)x￿Rr& 4 ゚wur yy$oY ̄_ ￶N¦3￸ヒn=t₩ br& ᆪ`│dq￟sᅤ3Zs? !#sフᅫ) ᆪ`│dq￟J￧G￷マs?#u¦ ᆪ`│du'q ̄_←& 4 ゚wur (#q¦3ᅤᄀ￴J│? ᅣN|￁ᅬ│ᅫ/ ᅩヘᅬ#uqs3￸9$# (#q│=t"￳ルur !$tB ￷L¦↑￸)x￿Rr& (#q│=t"￳ᄀuハ￸9ur !$tB (#q¢)x￿Rr& 4 ￶N¦3ᅬ9ᄎsフ  ̄N￵3 ̄m "!$# (  ̄N¦3￸tsニ ￶N¦3oY￷マt/ 4 ᆰ!$#ur ○L↓ᅫ=t₩ ᅭOハᅤ3ym ᅦᅧ￉￈   
Artinya :
"Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."


B. Dampak Pernikahan Beda Agama
Keluarga dibina atas dasar cinta dan kasih sayang. Buah keluarga adalah keturunan yang harus diarahkan dan dibimbing dalam nilai-nilai dan etika luhur Islami. Anak yang dibesarkan di satu negeri yang kafir bersama seorang ibu yang kafir, dikhawatirkan akan tergiring kepada penyelewengan akidah dan moral.
Seorang suami tidak mungkin hidup selamanya untuk anak-anaknya. Ia bisa saja meninggal dunia secara mendadak, dan meninggalkan anak-anak keturunan yang lemah, tidak mengenal Islam, dan tidak di asuh oleh ibu yang muslimah. 
Banyak dampak yang akan timbul dari pernikahan beda agama, meskipun hal itu di perbolehkan didalam agama Islam namun satu yang pasti dampaknya adalah kualitas ibadah akan berkurang, karena dalam kehidupan berumah tangga tidak jarang seorang muslim harus sedikit banyak berkompromi dengan pasangannya berkaitan dengan pola ibadah. Diluar itu, efek yang nampak karena pernikahan beda agama yaitu kebingungan yang muncul dari anak-anak mereka. Dengan kepercayaan agama yang tidak sama dari kedua orangtua, mereka bakal terasa bingung untuk memastikan agama yang mereka anut. Hingga dalam soal ini, anak bakal terasa kehilangan pelindung yang membimbing mereka ke jalan agama yang benar.


C. Pandangan Ulama
Pernikahan yang dilangsungkan oleh seorang yang beragama islam dengan orang musyrik baik dia itu laki-laki ataupun wanita, oleh semua ulama sepakat dan tidak ada perbedaan terhadapnya mengharamkan pernikahan semacam ini. Namun berbeda halnya dengan pernikahan seorang muslim dengan perempuan pemeluk agama yahudi atau nasrani.
Apabila dicermati kajian ini dalam kaca mata para ulama maka banyak pro dan kontra terhadapnya. Imam Syafi'i, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab mengatakan bahwa istilah ahl al-kitab ditujukan hanya kepada Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau antara lain adalah Nabi Musa dan Isa hanya diutus kepada mereka, bukan kepada yang lain.  Mengacu kepada pendapat Syafi'i ini Abdul Muta'al al-Jabariy mendefinisikan ahl al-kitab dengan identitas suatu generasi atau kaum yang telah musnah dan telah tiada ciri dan tandanya. 
Abdullah bin Umar berpendapat bahwa menikahi perempuan Yahudi dan Nasrani itu tidak diperbolehkan. Abdullah bin Umar pernah berucap; "Allah telah melarang orang muslim menikahi orang musyrik. Maka aku tidak tahu mana syirik yang lebih besar ketimbang seorang perempuan yang berkata bahwa Tuhannya adalah Isa, padahal sebenarnya Isa itu hanyalah hamba Allah dan Rasulullah di antara rasul-rasul Allah.
Jumhur ulama, merujuk kepada pendapat mereka tentang pengertian ahl al-kitab, tentu saja membolehkan pernikahan antar agama jenis ini, namun kebolehannya tidaklah mutlak. Disamping itu, pernikahan dengan orang yahudi dan nasrani juga pernah dipraktikan oleh para sahabat, seperti Utsman bin Affan, Thalhah bin Zubair, Ibnu Abbas, Hudzaifah. Selain itu, para tabi'in seperti Said bin al-Musayyab, Said bin Zubair, al-hasan, Mujahid, Thawus, Ikrimah juga mempraktekannya.
Imam Nawawi, dalam kitab Raudhatut Talibin (Kitab NIkah) VII/136 membagi non-muslim menjadi 3 (tiga) dan perbedaan hukum terhadap ketiganya dalam soal nikah sebagai berikut: Orang kafir ada tiga macam. Satu, ahli kitab. Maka boleh bagi pria muslim menikahi mereka. Baik ahli kitab dzimmi atau harbi. Akan tetapi makruh menikahi wanita ahli kitab harbi. Menurut qaul sahih, menikahi wanita ahli kitab dzimmi juga makruh akan tetapi makruhnya lebih ringan daripada makruhnya harbi. Yang dimaksud dengan ahli kitab adalah Yahudi dan Nasrani. Adapun mereka yang menganut agama dan berpedoman pada kitab nabi-nabi yang lain seperti kitab nabi Sith, Idris, Ibrahim, Daud, maka tidak halal menikahi mereka menurut pendapat yang sahih.
Adalah penting untuk diperhatikan apa yang diungkapkan oleh Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, bahwa yang dimaksud dengan ahli kitab adalah ahli tauhid (orang yang mengesakan Allah Swt.) dari orang-orang sebelum Islam kemudian mereka ditimpa oleh fitnah kemusyrikan dari orang musyrik yang memeluk agama mereka, kemudian mereka terputus dengan masa lalu mereka. 


D. Ketetapan Hukum
Meski banyak contoh dari para sahabat dan tabi'in yang menikah dengan ahli kitab, hendaknya berhati-hatilah sebelum melaksanakan pernikahan yang berbeda agama dan kepercayaan itu. Memang para sahabat mempunyai sifat yang patut diteladani dan mereka hidup penuh dengan takwa dan kesederhanaan. Adapun setelah mereka menikahi perempuan ahli kitab yang berbeda agama dan peribadatannya itu, para sahabat mengetahui pula bagaimana cara mengendalikan isteri sehingga anak-anak mereka tidak dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan ibunya. Oleh karena itu, menikah dengan perempuan ahli kitab pada umumnya diperkenankan namun di anggap makruh hukumnya. 
Hukum pernikahan beda agama menurut Ulama Mazhab Fiqh yang empat tentang pernikahan dengan ahlu al-kitab sebagai berikut;
1. Mazhab Hanafi mengharamkan menikahi wanita ahlu al-kitab apabila wanita itu berada di negeri yang terjadi konflik perang dengan orang-orang Islam (daar al-harbi). Dalam keadaan demikian, anak-anak hasil pernikahan tersebut akan lebih cenderung pada agama ibunya.
2. Mazhab Maliki mempunya dua pendapat. Pertama, menikah dengan ahlu al-kitabhukumnya makruh sama sekali, baik dia seorang dzimmi ataukah penduduk dalam wilayah perang. Kedua, menikahi ahlu al-kitab tidak makruh karena Al-Quran telah mendiamkannya.
3. Mazhab Syafi'I dan Hambali memberikan syarat yang cukup ketat, bahwa diharuskan kedua orang tua si wanita ahlu al-kitabjuga ahlu al-kitab. Apabila ibunya seorang penyembah berhala, maka perkawinan itu tidak diperkenankan (haram) sekalipun wanita itu telah dewasa dan menerima ayahnya.

Disamping itu di Indonesia sendiri didapati bahwa telah keluar Fatwa dari MUI. Keputusan Majelis Ulama Indonesia tahun 1980 yang ditanda tangani oleh Prof. Dr. Hamka memfatwakan: (1) "Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya". (2) "Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahl Kit¬b terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya (kerusakannya) lebih besar daripada maslahatnya, Majelis Ulama Indonesia memfatwakan perkawainan tersebut hukumnya haram".  Keharaman itu juga didasari dengan alasan bahwa para non Muslim tersebut bukan lagi dikategorikan sebagai ahli kitab, mereka telah berbeda dengan ahli kitab yang asli yang dimaksudkan oleh Q.S. Al-Ma'idah:5.  
Adapun perkawinan beda agama  dalam Kompilasi Hukum Islam secara ekspilisit dapat dilihat dari ketentuan empat pasal.
1. Pada pasal 40 KHI, dinyatakan: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
1. Karena wanita yang bersangutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
2. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
3. Seorang wanita yang tidak beragama Islam. 
2. Pasal 44 KHI
"Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam." 
3. Pasal 61 KHI
"Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau  ikhtilaf al-din. 
4. Pasal 116 KHI;
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
1. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebaginya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara (lima) tahun, atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankannya sebagai suami atau istri.
5. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
6. Suami melanggar taklik talak.
7. Peralihan agama atau murtad  yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Islam melarang dengan tegas baik kepada muslim maupun muslimah untuk menikah dengan orang-orang non Islam seperti orang musyrik, ateis maupun majusi. Karena mereka telah menyekutukan Allah dengan ciptaan Allah sendiri. larangan Allah tertera jelas didalam al-Qur'an surah al-Baqarah ayat 221. Namun beda halnya dengan para ahli kitab, mereka di kecualikan didalam larangan pernikahan.
Pernikahan seorang muslim dengan wanita ahli kitab, meskipun dibolehkan, namun ada baiknya kita mengikuti nasihat Umar bin Khatab untuk memprioritaskan para muslimah serta menolak pernikahan ini dengan tegas, Serta kita mengikuti fatwa dari Majelis Ulama Indonesia yang mengharamkan pernikahan tersebut dikarenanakan kemudharatannya. karena dampak kebelakangnya nanti akan cukup banyak, terlebih kepada anak-anak kita.
Namun satu yang pasti dampaknya adalah kualitas ibadah akan berkurang, karena dalam kehidupan berumah tangga tidak jarang seorang muslim harus sedikit banyak berkompromi dengan pasangannya berkaitan dengan pola ibadah yang berbeda.



DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Muta'al Muhammad al-Jabariy, 1994, Perkawinan Antar Agama Tinjauan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti)
Abdul Aziz, Abdul Wahab, 2015, FIQH MUNAKAHAT, (Jakarta; Amzah)
Departemen Agama RI, 1992/1993, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI)
M. Sayyid Ahmad, 2008, FIQIH CINTA KASIH, (kairo mesir; PT Gelora Aksara Pratama)
Muhammad Atho Mudzhar, 1993, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: INIS)
Muhammad Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), juz 6
MUI, 2003, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama)
Quraish Shihab, 1996, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, (Jakarta: Paramadina)
Rahman.I, 2002, PENJELASAN LENGKAP HUKUM-HUKUM ALLAH ( SYARI'AH), (Jakarta; PT RajaGrafindo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

VISITOR